Kisah Inspiratif

Dahono

Namanya Dahono. Nama yang tidak terlalu panjang, tetapi juga bukan yang terpendek. Beberapa nama siswa saya malah ada yang namanya hanya terdiri dari 4 huruf, misalnya Andi, Riah, atau Agus.

balipost

Sebagaimana siswa lainnya, Dahono juga menjalani kegiatan belajarnya. Berangkat pagi (terkadang telat), lalu pulang pada saatnya (beberapa kali pernah bolos). Di kelasnya (kelas IX) ia malah dipercaya temannya sebagai ketua kelas.

Alhamdulillah, selama belajar dengan saya, ia tidak pernah berbuat yang aneh. Tingkat kenakalannya seperti baju yang dikeluarkan atau terlambat hadir di kelas, masih bisa saya tolerir.

Beberapa kali saya mendapat laporan dari guru-guru lainnya, yang mengatakan ia termasuk anak yang nakal. Entahlah, dengan saya dan menurut saya, kenakalannya masih wajar.

Tahun lalu ia menamatkan bangku SMP. Hasil ujian nasional yang dicapainya pun termasuk tidak mengecewakan. Tiga hari yang lalu saya bertemu dengannya.
***

Mungkin tak ada yang istimewa darinya. Tapi setahun yang lalu, saat Ujian Nasional diumumkan, saya sempat terpana. Di saat siswa lainnya berteriak kegirangan karena dinyatakan lulus, di saat teman-temannya merayakan kelulusan dengan mulai melakukan aksi coret-coretan di baju, Dahono tidak kelihatan. Namun saat saya mulai berjalan dari kelas menuju kantor, saya terpana di depan mushola sekolah. Saya bertemu Dahono. Ia sedang membersihkan mushola, menyapu dan mengepel lantainya.

Sendirian. Disaksikan beberapa teman dan orang tua siswa lainnya.

Keterpanaan saya tidaklah lama, berubah menjadi tanda tanya. Gerangan apakah kesalahan yang telah dilakukannya, sehingga ia harus ‘dihukum’ membersihkan mushola?

Keingintahuan saya pun kemudian terjawab. “Dia membayar nazarnya, Pak,” jawab beberapa siswa yang saya tanya. “Apabila lulus ujian, kegiatan pertama yang akan dilakukannya adalah membersihkan mushola.”

Dari jawaban temannya itu saya hanya geleng-geleng kepala. Kelulusan yang diterimanya tidak dirayakan langsung dengan lonjakan kegirangan, atau aksi corat-coret baju, melainkan membersihkan rumah Allah dan kemudian sujud menghambakan diri sebagai ungkapan terima kasih.

malangraya

Bagi saya, kejadian yang sederhana itu tetap membekas di hati. Apalagi pada saat hasil UN untuk SMP yang akan diumumkan pada 19 Juni nanti. Dahono telah menjadi sosok lain. Ia telah mengajarkan kepada saya bagaimana menghadapi sebuah kemenangan, sebuah keberhasilan. Suatu kejadian sederhana, tapi langka, karena itu baru sekali terjadi selama saya menjalani profesi sebagai guru.
***

Andai saja banyak siswa bisa berpikir positif dan kreatif, bisa dibayangkan wajah Indonesia di depan mata seperti apa. Kalau saja banyak yang melakukan hal terbaik, bersyukur dengan cara yang benar, tentulah kian sumringah wajah negeri ini.

eriandi

Namun begitulah. Momen kelulusan masih banyak yang disalahtafsirkan sebagai ungkapan dari kemenangan atau keberhasilan. Padahal dalam agama Islam misalnya, contoh mengungkapkan kebahagiaan atas sebuah kemenangan atau keberhasilan sudah jelas. Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua momen kemenangan dalam agama Islam. Kemenangan atau ungkapan keberhasilan di kedua hari raya itu diiringi dengan lantunan takbir, dilanjutkan dengan salat.

Bila saja, anak-anak Indonesia diberi pemahaman akan hal ini, tentulah kita tidak melihat aksi ugal-ugalan para siswa yang merayakan kemenangan atau keberhasilan UN di jalan raya. Tentu kita tidak mendapatkan para siswa dengan penuh coreng-moreng beraksi dengan motor, balapan dan mengganggu pengguna jalan lainnya.

Bagaimana menurut pembaca?

Sumber:  http://zulmasri.wordpress.com

Sumber gambar: di sini, di sini, dan di siko

………………………..

Zhang Da, Kisah Seorang Anak Teladan dari Negeri China


Seorang anak di China pada 27 Januari 2006 mendapat penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan “Perbuatan Luar Biasa”. Diantara 9 orang peraih penghargaan itu, ia merupakan satu-satunya anak kecil yang terpilih dari 1,4 milyar penduduk China.

Yang membuatnya dianggap luar biasa ternyata adalah perhatian dan pengabdian pada ayahnya, senantiasa kerja keras dan pantang menyerah, serta perilaku dan ucapannya yang menimbulkan rasa simpati.

Sejak ia berusia 10 tahun (tahun 2001) anak ini ditinggal pergi oleh ibunya yang sudah tidak tahan lagi hidup bersama suaminya yang sakit keras dan miskin. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan.

Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai.

Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.

Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan Papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.

Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui.

Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan.

Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya.

Hidup seperti ini ia jalani selama 5 tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. Zhang Da merawat Papanya yang sakit sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya.

Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.

Zhang Da menyuntik sendiri papanya. Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli.

Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi / suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa mampu, ia nekat untuk menyuntik papanya sendiri. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah terampil dan ahli menyuntik.

Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, pembawa acara (MC) bertanya kepadanya,

“Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu? Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah?

Besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir.

Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!”

Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu.”

Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar ia pun menjawab,

“Aku mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama kembalilah!”

Semua yang hadir pun spontan menitikkan air mata karena terharu. Tidak ada yang menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya?

Mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit? Mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, pasti semua akan membantunya.

Mungkin apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku mau Mama kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.

Kisah di atas bukan saja mengharukan namun juga menimbulkan kekaguman. Seorang anak berusia 10 tahun dapat menjalankan tanggung jawab yang berat selama 5 tahun. Kesulitan hidup telah menempa anak tersebut menjadi sosok anak yang tangguh dan pantang menyerah.

Zhang Da boleh dibilang langka karena sangat berbeda dengan anak-anak modern. Saat ini banyak anak yang segala sesuatunya selalu dimudahkan oleh orang tuanya. Karena alasan sayang, orang tua selalu membantu anaknya, meskipun sang anak sudah mampu melakukannya.

Sumber: jujunjunaedi.multiply.com

————————

Semangat dan Kesetiakawanan

Saya tak kuasa menahan air mata. Di depan murid-murid kelas enam SD itu saya menangis. Sementara Yuni terus membacakan puisi karyanya dengan suara serak. Air mata mulai menetes membasahi pipinya.

Siang itu saya berada di ruang kelas enam SD  Negeri Karaton 4 Pandeglang Banten. Saya bersama tim Kick Andy HOPE sedang meliput kisah tentang seorang anak yang mengalami kelumpuhan tetapi memiliki semangat yang menyala-nyala. Namanya Yuni. Usianya 13 tahun.

Kisah tentang Yuni segera menarik perhatian saya dan teman-teman di Kick Andy karena dalam usianya yang relatif sangat muda, anak Desa Pabuaran, Kecamatan Majasari,  ini sudah harus menghadapi ujian hidup yang cukup berat. Pada saat duduk di kelas empat SD, bagian bawah badannya mendadak lumpuh. Kakinya tidak bisa lagi menumpu tubuhnya. Sejak saat itu kehidupan Yuni berubah drastis.

Yuni yang tadinya lincah sekarang tidak bisa lagi berjalan kaki ke sekolah. Tongkat penyangga tidak juga membantu. Tetapi semangat juara pertama lomba MIPA se-Pandeglang ini tidak padam hanya karena keterbatasan fisik. Setiap hari dengan dibopong dia tetap ke sekolah. Ada dua teman yang setia membantu menggendong Yuni di punggung mereka secara bergantian. Melayanti dan Dina, dua sahabat Yuni sejak kelas satu SD, dengan setia menggendong Yuni saat pergi dan pulang sekolah.

Apa yang dilakukan Mela dan Dina merupakan wujud kesetiakawanan yang sulit dilukiskan. Apalagi secara fisik Mela dan Dina lebih ringkih dari Yuni. Tak terbayangkan kedua gadis cilik itu harus menggendong Yuni pergi dan pulang sekolah. Begitu pula pada saat Yuni ingin ke kamar mandi.  Mela dan Dina dengan sabar dan setia selalu membantu. Kesetiakawanan itu sudah teruji selama dua tahun tanpa henti.

Air mata saya sudah mulai jatuh ketika mendengarkan Yuni menyanyikan lagu Senyum dan Semangat yang biasanya dinyanyikan kelompok musik remaja Sm*sh. Lagu itu bercerita tentang penderitaan seorang yang dihina dan dilecehkan oleh teman-temannya. Tetapi dia bangkit dari rasa sedih dan kecewa karena ada seseorang yang menghargainya.

Mengapa Yuni menyanyikan lagu itu? “Karena lagu itu menggambarkan apa yang terjadi pada Yuni,” ujar Yuni dengan suara parau. Air matanya kembali bergulir di pipinya. “Yuni sering dihina dan dijadikan bahan tertawaan oleh teman-teman kelas tiga,” ujarnya.

Yuni yang sehari-hari digendong oleh Mela dan Dina memang menjadi pemandangan biasa bagi teman-teman sekelasnya. Bahkan selama belajar teman-teman sekelasnya sudah bisa menerima kondisi Yuni itu dan tidak mempersoalkannya. Bahkan hampir semua teman-teman sekelas mendukung Yuni. Hal itu terlihat jika waktu istirahat, mereka secara bergantian membelikan jajan dan memberikannya ke Yuni yang terpaksa hanya bisa menunggu di kelas.

Tetapi, bagi teman-teman sekolahnya yang berbeda kelas, kehadiran Yuni yang selalu digendong di punggung itu menjadi tontonan menarik. Maka adegan Yuni digendong itu menjadi bahan olok-olok dan ejekan mereka. Yuni pernah merasa tidak tahan dan mogok sekolah. Tapi dukungan dan dorongan semangat teman-teman sekelasnya membuat Yuni kembali bersekolah. Bukan cuma itu, dia bahkan menunjukkan prestasi dengan dua kali menjuarai kompetisi MIPA se-Banten.

Air mata saya semakin tak terbendung manakala Yuni membacakan puisi ciptaannya yang bercerita tentang jasa gurunya selama dia belajar. Di dalam puisi itu Yuni, yang baru saja lulus ujian SD, menyatakan penghargaan dan rasa terima kasih kepada guru-gurunya.

Bukan saya saja yang tak mampu membendung air mata. Tim Kick Andy yang ikut meliput juga tak kuasa menahan haru. Tak terkecuali para guru  dan teman-teman sekelas Yuni yang hadir. Semua tenggelam dalam air mata.

Hari ini saya belajar tentang semangat dan kesetiakawanan. Semangat Yuni untuk melawan keterbatasan dan kesetiakawanan Mela dan Dina terhadap temannya yang sudah mereka kenal sejak di bangku kelas satu SD.

Saya semakin bisa merasakan kekuatan cinta dan persahabatan mereka manakala saya mencoba menggendong Yuni pulang ke rumahnya. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh, saya merasa cukup kelelahan. Tubuh Yuni terasa berat di punggung saya. Sulit bagi membayangkan bagaimana Mela dan Dina, yang tubuhnya kecil dan ringkih, setiap hari dengan setia menggendong sang sahabat pergi dan pulang sekolah.

Adakah persahabatan sejati membuat berat badan Yuni tidak berarti bagi Mela dan Dina? Adakah cinta yang tulus membuat Mela dan Dina mau mengorbankan tenaga dan waktunya untuk Yuni?  Sederet pertanyaan itu terus mengganggu pikiran saya selama perjalanan pulang ke Jakarta. Logika saya tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Hari itu saya belajar satu hal lagi dari Yuni, Mela, dan Dina. Bahwa cinta dan persahabatan yang tulus akan mampu mengatasi beban dan  hambatan sebesar apa pun.

Sumber:  www.kickandy.com/

————————————

Luar Biasa! Kakek 81 Tahun Ikuti Ujian Setara SD

Tarlan (81), kakek 19 cucu, serius mengerjakan ujian Paket A setara SD, Jumat (20/11)

Tuntutlah ilmu walau sampai ke Negeri China. Pepatah itu kiranya terasa pas menggambarkan semangat Tarlan dalam menuntut ilmu. Bagaimana tidak? Di usianya yang sudah sangat senja, menginjak 81 tahun, kakek 19 cucu ini masih bersemangat mengikuti ujian Paket A setara SD.

Meski sesekali mengerutkan dahinya, Tarlan terlihat serius mengerjakan soal-soal ujian yang diberikan oleh pengawas dalam ujian Paket A setara (SD) yang diselenggarakan Suku Dinas Pendidikan Menengah (Sudin Dikmen) Jakarta Pusat, Jumat (20/11). Sikap Tarlan patut diacungi jempol. Di usianya yang melewati ambang batas ternyata masih bersemangat untuk belajar.

Ya, lelaki kelahiran Cirebon itu bersama rekan-rekan sebayanya mengikuti ujian Paket A yang digelar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Harapan Islam, Jalan Galur Raya 16, Johar Baru, Jakarta Pusat.

“Cari ilmu itu enggak ada batasnya. Kan ada pepatahnya, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China,” ujar Tarlan lantang saat ditemui usai menyelesaikan soal ujian, Jumat (20/11).

Lelaki renta itu mengaku sudah sejak setahun lalu mengikuti program pendidikan Paket A. Ini dilakukan karena dia ingin memiliki ijazah SD. Nantinya jika telah lulus, ijazahnya akan dilaporkan pada pimpinannya agar dia diangkat menjadi karyawan tetap. Selama ini, Tarlan bekerja sebagai salah seorang petugas kebersihan di Masjid Istiqlal.

“Kalau mau menjadi karyawan tetap, syaratnya harus memiliki ijazah SD. Sampai saat ini saya belum punya, makanya saya ikut belajar di sini,” ungkap warga Jalan Kalibaru Timur V, Bungur, Senen, Jakarta Pusat itu.

Upaya gigih lelaki yang hanya mengenyam kelas 5 SR (sekolah setingkat SD zaman kolonial Belanda) mendapat dukungan penuh dari seluruh keluarganya. Tentu saja dukungan ini menjadikan dia lebih termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan program Paket A.

“Mudah-mudahan umur bapak sampai,” ujar Tarlan yang terpaksa putus sekolah saat itu lantaran Indonesia dalam keadaan kondisi perang melawan penjajah.

Rupanya Tarlan tidak sendirian dalam mengikuti ujian Paket A. Beberapa kakek-kakek lainnya pun mengikuti hal yang sama. Di antaranya Mulyani (50) dan Hussein (55) yang sama-sama ingin segera memiliki ijazah setara SD agar dapat diangkat menjadi karyawan tetap sebagai petugas kebersihan di Masjid Istiqlal.

Sumber http://edukasi.kompas.com/read/2009/11/20/08200949/Luar.Biasa.Kakek.81.Tahun.Ikuti.Ujian.Setara.SD

8 Tanggapan

  1. Pak saya sudah lihat nilai saya,tetapi saya kurang puas dengan nilai saya krn saya blm bs menandingi anak yang mndpt nilai 100,….

  2. Pak Update kisah inspiratif lagi ya pak zul kayaknya kisahnya bagus-bagus ni dapat dari mana pak?

  3. Pak,
    kisah inspiratif nya perbanyak yang dari kisah-kisah anak nusantara , biar anak Indonesia tau, bahwa Indonesia juga punya anak-anak yang luar biasa . Seperti Yuni, Mela, dan Dina.

  4. itu kisah dari mana sih , asli apa bohong

    asli dong

  5. untuk kisah Zhang Da sangat menyentuh. Terima kasih sudah berbagi kisah-kisah menarik ini. Mohon ijin copy ya Pa/Bu. Salam kenal dan terima kasih

    Rusydi

  6. smga bisa menjadikan inspirasi buat kita semua
    amien

Tinggalkan Balasan ke teguh jatmiko Batalkan balasan